Sabtu, 02 Juli 2011

Penampilan Senior2 GMKI

Selasa, 28 Juni 2011

Kerinduan terhadap Tuhan

Ketika sedang bepergian ke suatu tempat yang jauh atau untuk waktu yang lama, kita pasti pernah merasakan kerinduan baik kepada orangtua, saudara, teman, bahkan pasangan. Saya juga pernah mengalaminya ketika selama beberapa tahun harus pergi bekerja di luar kota. Ingatan tentang lezatnya masakan rumah buatan ibu, waktu-waktu berbagi pengalaman bersama ayah, dan kebersamaan dengan teman-teman sepermainan terkadang membuat saya ingin segera pulang. Apalagi bila saya mengingat setiap kasih sayang dan penerimaan tanpa pamrih yang selalu mereka berikan. Perasaan itu semakin kuat dan membuat saya amat menghargai waktu cuti tahunan. Meski hanya beberapa hari dalam setahun, saya selalu menggunakan waktu cuti untuk pulang dan berkumpul kembali bersama mereka. Bagi saya, kebersamaan dengan mereka tidak dapat ditukar apa pun, termasuk tambahan uang lembur sekalipun.

Bukan hanya saya, setiap orang pasti pernah merasakan perasaan seperti itu dalam hidupnya. Namun bila kita merenungkannya lebih jauh, sesungguhnya kerinduan jiwa kita bukanlah terhadap manusia, tetapi terhadap Tuhan. Bagi Daud, kebutuhannya akan kehadiran Tuhan dalam kehidupannya adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Ia tahu bahwa Tuhan adalah segala-galanya, dan tanpa Tuhan maka ia tidak akan mampu menghadapi kerasnya kehidupan ini. Sayangnya, meski setiap orang sadar bahwa dirinya memerlukan kehadiran dan pertolongan Tuhan, tidak banyak orang yang benar-benar mencari-Nya. Karena mereka berpikir kehadiran Tuhan dpat digantikan oleh yang lain. Misalnya harta, uang, jabatan, status, atau hal yang lain. Bukannya menyelesaikan masalah, pemikiran bahwa kehadiran Tuhan dapat digantikan sesuatu yang lain justru tidak menyelesaikan masalah. Malah membuat masalah kian besar dan memburuk.

Persekutuan pribadi dengan Tuhan tidak berbicara soal berapa kali kita pergi ke gereja, berapa banyak persembahan yang kita berikan, atau seberapa banyak kita mampu menghafal ayat-ayat firman Tuhan. Lebih dari itu, persekutuan pribadi yang sejati dengan Tuhan hanya akan terjadi manakala kita bersedia merendahkan hati dan menyerahkan semuanya pada kehendak Tuhan.

Sabtu, 23 April 2011

Lalat & Semut

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta diatas sebuah tong sampah didepan sebuah rumah. Suatu ketika anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat.

"Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar" katanya.

Setelah kenyang si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan dan esok paginya nampak lalat
itu terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua,

" Ada apa dengan lalat ini Pak?, mengapa dia sekarat?".

"Oh.. itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini, sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita" Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? kenapa tidak berhasil?".

Masih sambil berjalan dan memangggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab,

"Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama". Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya namun kali ini dengan mimik & nada lebih serius :
"Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini".

" Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya
melakukannya dengan cara yang berbeda"


Sumber : Renungan Harian Sabda

Jumat, 22 April 2011

Ketidaksempurnaan yang Sempurna

Seorang tukang jual air memiliki sebuah pikulan yaitu dua buah tempayan di kiri - kanannya setiap ia memikulnya. Namun salah satu tempayannya sudah retak. Jadi saat tukang air tiba di tujuannya air di tempayan tersebut sudah tinggal setengah bahkan seperempatnya. Tentu saja setiap tiba di tempat penampungan akhir, tempayan yang bagus tersebut merasa sombong dan tempayan retak itu selalu minder dan malu. Terlebih kepada tukang pemikil air tersebut. Tempayan retak tersebut meminta maaf kepada tukang air tersebut. Tetapi rupanya si tukang air sudah mengetahui tentang hal tersebut. Hari-demi hari, minggu berganti, bulan berlalu ternyata disepanjang perjalanan, si tukang air tersebut selama ini ternyata sudah menebarkan benih tanaman bunga yang indah. Akhirnya, hingga dalam beberapa bulan si tukang air akhirnya mendapatkan bunga-bunga yang indah dan mewangi akibat tumpahan air dari tempayan retak tersebut. Jadi sekalipun nampaknya tempayan yang retak itu tidak berguna namun pemiliknya masih dapat memakainya untuk sebuah tujuan yang baik.

Apakah diantara kita ada yang merasa seperti tempayan retak tersebut? Kita merasa tidak sempurna, kelemahan ada di sana-sini. Wajah tidak seperti miss universe, suara dan tarian tidak seperti si Norman dan keberuntungan tidak seperti anggota DPR yang bisa menonton vidio porno saat sidang atau tidak sekaya Gayus dan Melinda karena "kelicikannya".:P.

Kekurangan dan kelemahan tersebut kadang membuat kita minder.

Brother-sisiter, kamu jadi berarti bukan karena tampangmu bahkan dompetmu sekalipun. Kamu berarti karena Tuhan yang menjadikan hidupmu berarti. Tuhan telah menyiapkan kita menjadi berkat bagi banyak orang dan berguna bagi kemuliaan-Nya.

Meskipun kamu merasa tidak berarti karena ditolak, dikecewakan, ataupun kamu telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti dimasa mudamu (misalnya udah suka merokok, lama lulus sekolah, senang begadang :P), Allah masih tetap mengasihi kita dan Dia punya tujuan khusus untuk kita. seburuk apapun hidup kita, masih bisa dipakai untuk kemuliaan-Nya. Jadi apapun yang kamu lakukan, lakukanlah dengan setia, karena Tuhan akan bekerja atasnya dan menjadikan segala sesuatu menjadi suatu kebaikan dan kemuliaan bagi nama-NYA.

Rabu, 06 April 2011

Hidup Seperti Buku

Hidup manusia itu seperti sebuah buku..

Sampul depan adalah tanggal lahir, sampul belakang adalah tanggal pulang...

Tiap lembarannya adalah hari2 dalam hidup kita...

Ada buku yg tebal, ada pula yang tipis...

Hebatnya, seburuk apapun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman selanjutnya yang bersih, baru & tiada cacat..untuk hari ini.

Sama dengan hidup kita, seburuk apapun kemarin, Tuhan selalu menyediakan hari yang baru untuk kita.

Kesempatan yang baru untuk bisa melakukan sesuatu yang benar setiap hari, memperbaiki kesalahan, melanjutkan alur cerita yang baru....

Jangan menunda-nunda kesempatan baik hari ini... Karena kita tidak tahu.... Tiba2 besok kita memasuki lembaran terakhir:)

TYM---

Jarak dua hati

Seandainya guru PPKN dan guru agama saat ini masih bijaksana, maka kondisi generasi sekarang akan jauh lebih baik. Mereka akan mengamalkan Pancasila dan menunaikan ajaran agamanya.

Kisah di sebuah kelas, saat guru PPKN atau guru agama mengajar di suatu kelas.

Ibu guru bertanya :"Mengapa ketika seseorang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara yang kuat dan keras?"

Suasana kelas hening, tampak murid ragu-ragu untuk menjawab.

Namun setelah sekian lama ada murid yang mencoba menjawab : "karena saat itu (saat marah), ia telah kehilangan kesabarannya, lantas ia berteriak dengan keras"

"Tapi....."Guru bertanya kembali :" Lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mereka sedang berdekatan loh. Apa ia harus berteriak. Bukankah ia bisa berbicara dengan halus??"

Hampir semua murid memberi jawaban dengan berbagai macam argumen, namun belum satu orang pun murid yang bisa menjawab pertanyaan guru tersebut. Akhirnya guru menjawab :" Saat seseorang sedang dalam keadaan marah maka jarak hatinya dengan lawan bicaranya tersebut menjadi sangat jauh walaupaun mereka sedang berdekatan. Karena itu untuk mencapai jarak hati yang jauh tesebut ia akan berteriak sekeras mungkin. Namun anehnya, semakin berteriak keras maka semakin tambah kemarahan mereka dan akhirnya bertambah keras pula teriakannya karena jarak kedua hati mereka semakin jauh."

Sang guru masih melanjutkan :" Sebaliknya, apa yang terjadi bagi mereka yang sedang jatuh cinta? Mereka tidak berteriak. Namun saat mereka berkomunikasi dengan suara yang halus dan lembut keduanya akan bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?" Tanya sang guru lagi, namun murid-murid hanya terdiam tak ada yang berani memberi komentar. " Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tidak berjarak, walaupun terkadang mereka secara fisik sedang berjauhan. Cukup dengan sebuah tatapan mata sudah bisa mengungkapkan isi hatinya kepada pasangannya." Jelas sang guru.

Oleh sebab itu, ketika kamu sedang dilanda kemarahan, janganlah menciptakan jarak hatimu dengan orang lain. Lebih lagi janganlah kamu mengucapkan kata yang bisa menambah jarak hatimu dengan seseorang. Mungkin disaat sedang marah, kesal atau jengkel, diam merupakan solusi yang sangat tepat. Setelah beberapa waktu cobalah untuk kembali "mesra" dengan "lawan" mu itu.

Sabtu, 22 Januari 2011

Batu Besar di Tengah Kota

Alkisah dijaman kerajaan dahulu, ada seorang raja yg baru memenangkan sebuah peperangan. Setelah pulang, sang raja mulai membangun kerajaannya secara perlahan tapi pasti. Setiap hari ia memandang dari jendela istananya setiap aktivitas yang dilakukan rakyatnya. Rakyat lalu lalang melakukan pekerjaannya. Hari-hari berjalan, lama kelamaan terjadi peningkatan perdagangan dan rakyat menjadi sejahtera.

Suatu malam raja punya ilham. Dia memerintahkan tentaranya untuk meletakkan sebuah batu besar di tengah jalan. Keesokan harinya Raja kembali memandang kegiatan rutinitas rakyatnya dari jendela istana. Tampak orang-orang sedikit terhalang dengan adanya batu tersebut. Ada yang marah-marah, memaki-maki dan mengomel. Perjalanan ke pasar menjadi sedikit lebih lama karena harus berbelok menghindari batu besar tersebut.

Setiap hari menjadi lebih crowded, terjadi kemacetan, banyak omelan dan makian. Tapi orang-orang masih berusaha keliling lebih jauh untuk menuju pasar.

Sampai suatu hari lewatlah seorang petani dari desa dari tempat tersebut. Petani itu tergerak untuk memindahkan batu besar tersebut agar tidak menghalangi lalu lintas rakyat menuju pasar. Ia mengambil palu dn pahat. Sedikit demi sedikit ia memahat batu besar tersebut dan membuang pecahan batu tersebut ke pinggir kota.

Tapi yang menarik, pada bagian bawah batu tersebut ia menemukan sebuah kotak yang berisi pesan dan emas yang tertanda dari Sang Raja. Diluar kotak yang berisi kepingan-kepingan emas tersebut terdapat tulisan dari sang Raja :"Ini hadiah bagi siapa yang mau dengan sukarela memindahkan batu besar yang menjadi penghalang menuju pasar". Petani mendapat hadiah dari Raja, karena dia punya inisiatif dan kerelaan untuk memindahkan batu. Berbeda dengan orang lain yang mengomel, memaki dan tidak mau berinisiatif memindahkan batu penghalang tersebut.

Kisah seperti ini sering juga kita hadapi. Tuhan sering meletakkan batu penghalang di perjalanan hidup kita. Akhirnya muncul masalah, urusan menjadi tidak lancar. Kita mengeluh, mengomel dan kadang memaki. Bahkan kita dengan cepat menyalahkan pelayan publik yang berkuasa saat itu. Kita menyalahkan pemerintah atau orang lain.

Sebenarnya Tuhan sedang mengamati kita dari surganya. Apakah kita mau memindahkan batu tersebut? Atau kita malah mengomel, mengeluh dan memaki? Atau kita berjalan menjadi lebih jauh untuk menghindar dari batu tersebut? Atau kita turun tangan dengan inisiatif sendiri untuk memecahkannya?

Percayalah akan ada kotak hadiah setiap kita berhasil memecahkan masalah berat dan hambatan besar yang ada di tengah hidup kita...

  © Blogger template 'Perfection' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP