Sabtu, 13 Februari 2010

Kepemimpinan Transformasional

Bila anda ditunjuk untuk memimpin suatu organsiasi, apa anda akan langsung bersedia? Atau mungkin diantara kita sudah ada yang pernah menjadi pemimpin, misal ketua kelas, atau pimpinan sebuah organisasi. Namun selepas dari kepemimpinan tersebut, pernahkan kita menilai dengan objektif hasil dari kepemimpinan kita tersebut? Mungkin kita akan bangga bila selepas memimpin maka organisasi tersebut semakin baik atau malah sebaliknya kita akan bersedih bila organisasi tersebut menunjukkan penurunan.

Keberhasilan suatu organisasi terletak pada pemimpinnya. Orang yang paling bertanggungjawab terhadap maju atau tidaknya organisasi tersebut adalah sang pemimpin. Memimpin merupakan sebuah kesempatan. Karena sebuah kesempatan, maka banyak orang menjadi taktis dan pragmatis. Kesempatan tersebut diinterpretasikan untuk kepentingan diri sendiri. Sangat mudah kita temukan pemimpin yang pragmatis tersebut. Banyak pimpinan daerah di nusantara ini yang pragmatis dan taktis. Namun bila kita telaah lagi, umumnya calon - calon pemimpin daerah tersebut, katakanlah bupati/walikota, sebelumnya sudah pernah memimpin organisasi lain. Namun mereka masih banyak juga melakukan hal - hal taktis dan pragmatis dalam merebut pucuk pimpinan tersebut. Sungguh jarang kandidat pemimpin yang mempromosikan karyanya, keberhasilannya untuk meraih simpati konstituen. Alhasil ketika duduk pada pimpinan daerah maka sang pemimpin tadi hampir tidak berbuat apa-apa.

Masa sekarang merupakan masa - masa regenerasi organisasi2, parpol atau masa pilkada di Indonesia. Sebaiknya mereka yang terpilih nanti menjadi pimpinan akan lembaganya menggunakan kepemimpinan transformasional. Sebab keberhasilan suatu tim juga bergantung kepada bawahan dari pemimpin tersebut. Kebanyakan kita menganut kepemimpinan transaksional. Ibarat bekerja pada seseorang, kita hanya bertugas menyelesaikan pekerjaan tersebut, tanpa memikirkan hasil dan kontinuitasnya. Mental dalam kepemimpinan transaksional ini seperti buruh. Dia hanya bertugas melakukan tugasnya, tidak peduli produk mereka akan laku atau tidak. Tidak ada ikatan moral antara pimpinan dan anak buah.

Tidak salah kalau berbagai instansi dalam merekrut pegawainya mencantumkan syarat seperti good leadership, atau bisa bekerja dengan tim (team work). Namun setelah masuk menjadi pegawai, maka sisi ini akan kita lupakan begitu saja. Sang perekrut atau HRD sendiri pun tidak melakukan hal yang dia syaratkan kepada calon pegawainya. Sehingga rasa kepemilikan terhadap instansi tadi tidak terlalu erat. Hanya transaksional.

Pemimpin yang baik adalah mereka yang menerapkan kepemimpinan transformasional. Dimana pimpinan dan anak buahnya sama - sama melakukan transformasi pengetahuan. Disini pemimpin harus mengakui bahwa anak buahnya memiliki kemampuan masing - masing dibidang tertentu. Bos bukan segalanya, tetapi seseorang yang harus dihormati. Kelebihan masing - masing tadi yang harus ditransformasi sehingga setiap orang baik pimipnan dan anak buah tadi menjadi pribadi yang lebih baik dan tangguh. Dengan demikian rasa kepemilikan akan organsisasi/instansi tempat bereka bernaung akan menjadi kuat. Ada ikatan moral yang terbentuk. Dengan demikian setiap program akan menjadi tantangan masing - masing, dan otomatis kerja tim tadi akan terwujud.

0 komentar:

  © Blogger template 'Perfection' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP