Jumat, 11 Desember 2009

Gereja 24 jam

Beberapa bulan lalu saya pernah berdebat dengan seorang calon pendeta. Dan sekarang si teman itu sudah melayani sebuah Jemaat di pedalaman di Bengkulu. Mungkin beberapa saat lagi resmilah dia menjadi pendeta. Amin.... Dia lulus dari STT Inti setelah berjuang keras menjadi tukang parkir (so sweet) dan saya selalu mendorongnya untuk menjadi Eporus nantinya atau minimal Ketua Umum PGI (menurut saya : lebih hebat eporus HKBP daripada ketum PGI karena Sekjen PGI selalu dari HKBP dan baru kali ini Sekjen PDIP bukan dari Nasrani, wah apa hubungannya :p). hehehe...Secara saya baru ingat bahwa Sidang Raya PGI baru selesai akhir bulan lalu dan ketua terpilih masih tetap Pdt.Dr. Andreas A Yewangoe, sedangkan sekjen yang lama Pdt.Richard Daulay digantikan oleh pendeta Dr. Gomar Gultom. Saya selalu ingat dengan pak sekjen yang lama, sebab saya pernah "dimarahi" karena memakai sandal saat bertemu beliau di kantornya beberapa tahun lalu. Saya pikir sedang kuliah di ITB:p. Namun saat itu juga saya tanya kesungguhan PGI untuk mengurus legalitas aset-aset Kristen di Indonesia yang 90 % (selain Gereja) tidak legal saudara-saudara. Kapan2 mungkin bisa saya ceritrakan.

Kembali ke topik.!! Sebenarnya saya lebih senang mengganti istilah berdialog bukan berdebat. Agar kebiasaan orang Indonesia bisa berubah sedikit demi sedikit. Saya selalu menemukan bahwa orang Indonesia lebih suka berdebat bukan berdialog, lebih senang mempertahankan pendapat daripada berdiskusi, bersaing bukan berkompetisi, berkelahi bukan berdiplomasi.

Waktu itu kami makan di depan sebuah Gereja di Gardujati. Dia mempermasalahkan mengapa masih jam 7 malam pintu gerbang Gereja atau Gereja tersebut sudah ditutup. Bagamana bila ada Jemaat yang hendak berdoa ke dalam Gereja? Bukankah sebaiknya pintu Gereja selalu terbuka?

Tidak mau kalah dengan pendapatnya saya langsung memberikan banyak argumen dan membenarkan tindakan Gereja tersebut menutup pintu pada malam hari. Supaya tidak dimasuki sembarang orang? Tentu dengan gampangnya dia menyangkal argumen saya ini dengan menanyakan apakah orang - orang yang boleh masuk ke Gereja hanya orang2 tertentu? Saya jawab lagi agar binatang seperti anjing tidak masuk atau jenis hewan lain. Saya langsung teringat dengan cerita teman saya tentang sintua (penatua) hus di kampung sana. Disebut sintua hus karena semenjak dilantik kerjaannya hanya menjaga pintu Gereja saat ibadah agar B1, B2 dan B3 tidak masuk ke dalam Gereja dengan menyebut hus, hus, hus ...saat B1,B2 dan B3 tadi mendekat. Jadilah diberi gelar sintua hus. Note: B1 da B2 mungkin sudah familiar, B3 adalah biang boru-boru :D. Saya lawan lagi, nanti kalau pintu Gereja terbuka terus terutama pada malam hari, maka inventaris Gereja akan lenyap satu per satu. Tetap saja ada jawaban yang menurut saya sangat benar yaitu adanya pembatas manusia untuk bertemu Tuhannya. Karena terkadang kita memang perlu masuk ke dalam Gereja dan berdoa di sana pada saat2 tertentu.

Singkat cerita setelah sekian banyak argumen, pernyataan dan pertanyaan dilontarkan, akhirnya ia mengatakan kalau dia menjadi pendeta di sebuah Gereja, ia akan membuka pintu Gereja tersebut 24 jam saudara-saudari. Tidak hanya waktu hari Minggu saja. Bila pintu Gereja masih tertutup itu sama saja menunjukkan ekslusifisme orang Nasrani. Kita membuat batas orang lain untuk bertemu dengan Tuhannya, walaupun ada ungkapan yang mengatakan bahwa Bait Allah sesungguhnya berada dalam hati manusia. Coba kita bandingkan dengan rumah ibadah saudara kita yang terbuka 24 jam. Siapapun bisa datang ke sana dan beribadah.

Saat bulan Desember seperti sekarang intensitas pintu Gereja terbuka menjadi lebih banyak, karena perayaan2 Advent dan Natal. Akankah kita juga meningkatkan intensitas kita untuk beribadah? Mari kita nyanyikan This is my story, this is my song.....Praising my Savior all the day long...

1 komentar:

Anonim 12 Desember 2009 pukul 09.48  

Yah itulah sebabnya saya sudah menarik diri dari semua forum, grup, dan milis diskusi kristen. Karena ujung-ujungnya debat kusir semua. Dan tidak sedikit yang dibumbui bahasa arogansi (doktrin saya yang paling alkitabiah, teologi saya yang paling benar, selain gereja saya sesat semua), maupun bahasa preman (goblok, dll).

Seharusnya debat yang sehat itu:

- mengedepakan argumentasi yang sangat kuat, bukan penghakiman

- adu akal, bukan adu emosi

- kokoh dengan pendapat sendiri, tapi menghormati pendapat orang lain.

Dan sedikit sekali pendebat-pendebat kristen yang memenuhi ketiga syarat di atas. Akibatnya ya percuma. Masing-masing tidak mau mendengarkan yang lain, melainkan terus teriak dengan pendapatnya sendiri.

Bukan berarti saya anti-doktrin. Saya juga suka belajar, tapi saya memang pusing melihat debat yang tidak sehat. Sekarang, saya baca-baca dari sumber yang memenuhi tiga syarat di atas. Misalnya dari sini: http://studycycle.blogspot.com/

Untuk masalah gereja, saya setuju kalo gereja harus ditutup malam hari. Bukan karena eksklusifme, tapi kalo di sini, di musim salju gereja ngga ditutup malam hari ya gawat. Pemanas ruangan jalan terus, tagihannya besar sekali :))

  © Blogger template 'Perfection' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP