Karakteristik Masyarakat
Dari roadshow tingkat RT, RW hingga kelurahan dari sedikitnya 33 Kecamatan, saya menemukan karakteristik masyarakat yang berbeda - beda. Hampri tidak ada yang sama. Persamannya paling sikap apatis dan pragmatis sebahagian orang terhadap kuncungan caleg ke daerah mereka. Namun kebanyakan pemahaman masyarakat tentang pentingnya memberi hak suara pada pemilu nanti sudah mulai bagus.
Proses pencalegkan sudah pasti memerlukan dana yang besar, setidaknya untuk biaya operasional dari satu tempat ke tempat lain. Namun dari beberapa caleg yang punya "modal" saya dengar berani memberi gratifikasi kepada warga yang dikunjunginya. Disamping melanggar ketentuan kampanya, hel ini juga membodohi masyarakat. Ini membentuk karakter masyarakat menjadi peminta - minta atau kata lainnya pengemis. Dan tidak jarang segelintir orang yang "sudah biasa" menerima "uang panas" ini meminta - minta kepada para caleg. Namun ketika diberi pengertian kalau mereka sebenarnya dibeli dengan uang sekitar "20 ribu" puji Tuhan ada yang tersadarkan.
Ya karakter masyarakat kita dan para calegnya sudah merusak tatanan nilai demokrasi. Para caleg seolah enggan untuk berkompetisi dan cenderung menggunakan money politic. Yang dikedepankan adalah cara jual beli suara. Tidak mengedepankan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh caleg tersebut. Demikian masyarakat, mereka tidak menggunakan moment pemilu ini untuk memilih orang - orang yang berpotensi bagus seperti mereka memilih tempat rekreasi yang terbaik. Atau memilih sekolah anaknya yang bagus. Suara mereka hanya dihargai sekitar 20 hingga 50 ribu. Hanya cukup untuk makan paling lama 3 hari. Ribuan hari lagi (5 tahun) masyarakat akan kembali menderita.
Banyak orang menganalogikan pencalegkan sama dengan judi. Sebenarnya salah. Pencalegkan tidak sama dengan judi. Kalu bermain judi, kita yang bermain. Kita yang pegang kartu. Kita yang pegang kendali permainan. Jadi kalaupun kalah, kita merasa puas. Beda dengan pencalegkan, walau kita sudah kasih orang lain uang banyak, belum tentu suaranya akan diberikan pada kita. Orang lain yang pegang kendalinya. Kita tidak pegang kartu secara langsung.
Bagaimana dengan yang golput? Saya rasa jangan sampai golputlah. Jika caleg belum sempat mendatangi kita, toh tidak ada salahnya kita mencari tahu caleg yang ada di dapil atau sekitar kita. Kita bisa melihanya melalui TV One, Koran, Internet atau tanya kepada KPU dan KPUD. Sedikit banyak mereka pasti mengetahui caleg. Jika tidak mau mencari tahu, itu sama dengan milih kucing dalam karung. Mungkin se per sekian persen ada hasil yang baik. Namun masih lebih bijak milih kucing dalam karung daripada golput. Golput ruginya dua kali lipat. Tidak milih dan bisa saja surat suara kita dimainkan orang lain. Tidak ada yang tidak mungkin, yang tidak mungkin adalah memakan kepala sendiri. Maukah kita dirugikan orang lain?
Proses pencalegkan sudah pasti memerlukan dana yang besar, setidaknya untuk biaya operasional dari satu tempat ke tempat lain. Namun dari beberapa caleg yang punya "modal" saya dengar berani memberi gratifikasi kepada warga yang dikunjunginya. Disamping melanggar ketentuan kampanya, hel ini juga membodohi masyarakat. Ini membentuk karakter masyarakat menjadi peminta - minta atau kata lainnya pengemis. Dan tidak jarang segelintir orang yang "sudah biasa" menerima "uang panas" ini meminta - minta kepada para caleg. Namun ketika diberi pengertian kalau mereka sebenarnya dibeli dengan uang sekitar "20 ribu" puji Tuhan ada yang tersadarkan.
Ya karakter masyarakat kita dan para calegnya sudah merusak tatanan nilai demokrasi. Para caleg seolah enggan untuk berkompetisi dan cenderung menggunakan money politic. Yang dikedepankan adalah cara jual beli suara. Tidak mengedepankan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh caleg tersebut. Demikian masyarakat, mereka tidak menggunakan moment pemilu ini untuk memilih orang - orang yang berpotensi bagus seperti mereka memilih tempat rekreasi yang terbaik. Atau memilih sekolah anaknya yang bagus. Suara mereka hanya dihargai sekitar 20 hingga 50 ribu. Hanya cukup untuk makan paling lama 3 hari. Ribuan hari lagi (5 tahun) masyarakat akan kembali menderita.
Banyak orang menganalogikan pencalegkan sama dengan judi. Sebenarnya salah. Pencalegkan tidak sama dengan judi. Kalu bermain judi, kita yang bermain. Kita yang pegang kartu. Kita yang pegang kendali permainan. Jadi kalaupun kalah, kita merasa puas. Beda dengan pencalegkan, walau kita sudah kasih orang lain uang banyak, belum tentu suaranya akan diberikan pada kita. Orang lain yang pegang kendalinya. Kita tidak pegang kartu secara langsung.
Bagaimana dengan yang golput? Saya rasa jangan sampai golputlah. Jika caleg belum sempat mendatangi kita, toh tidak ada salahnya kita mencari tahu caleg yang ada di dapil atau sekitar kita. Kita bisa melihanya melalui TV One, Koran, Internet atau tanya kepada KPU dan KPUD. Sedikit banyak mereka pasti mengetahui caleg. Jika tidak mau mencari tahu, itu sama dengan milih kucing dalam karung. Mungkin se per sekian persen ada hasil yang baik. Namun masih lebih bijak milih kucing dalam karung daripada golput. Golput ruginya dua kali lipat. Tidak milih dan bisa saja surat suara kita dimainkan orang lain. Tidak ada yang tidak mungkin, yang tidak mungkin adalah memakan kepala sendiri. Maukah kita dirugikan orang lain?
1 komentar:
Ya mo gimana lagi, masayrakatnya udah bodoh, eh malah orang yang lebih pintar membodohi masyaraktnya sendiri. Harusnya kan ang membimbing yang bodoh ini adalah orang-orang yang sudah tidak bodoh lagi.,!!!
jadi janggan salahkan masyarakatnya dong kalo mereka di jadikan money politik, toh mereka sama sekali ga mengerti apa yang sedang mereka terima. Yang mereka pikirkan hanyalah "hari ini aku makan apa".
Kemiskinan merupakan faktor terbesar dalam money politik, jadi buat kita para orang-orang yang sudah tidak bodoh janganlah membodohi saudara kita sendiri demi mendapatkan keinginan kita sendiri.
Jayalah selalu Indonesia.,!!
Posting Komentar