Yang saya temui di Bandung dan sekitarnya
Pemilu legislatif tinggal 61 hari lagi sejak hr ini. Bahkan sudah banyak partai yang declare calon presidennya. Meskipun sebenarnya siapa saja bisa menyatakan maju sebagai calon presiden. Pesta demokrasi kali ini bisa menjadi pemilu terburuk atau bisa juga tahap awal perbaikan sistem demokrasi.
Terburuk karena sistem pemilu belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Sudah terlalu lama bangsa kita hidup dalam kebodohan. Dan bodohnya lagi, yang kita perangi adalah kemiskinan dan kebodohan negara lain. Akhirnya orang bodoh mengajari bangsa yang sudah bodoh. Hasilnya eksponensial dari bodoh, bukan kuadratik dari bodoh. Maksudnya adalah tentang "kepolosan masyarakat" yang bodohi oleh calon wakil rakyat.
Mungkin dari kita banyak yang belum mengetahui maksud dari KPU yang mensahkan contrengan pada kertas suara nanti. Bukan mencoblos seperti pada pemilu sebelumnya. Mencoblos dianggap masih sangat primitif dan menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan masyarakat yang menggunakan pola mencoblos masih rendah. Dan salah satu negara yang masih menggunakan pola primitif ini adalah bangsa Indonesia. Sehingga sebagian anggota KPU mulai mengarahkan agar menggunakan sistem contreng (V), (-) atau (x) pada caleg yang dipilih. Samapi saat ini tiga tanda contreng dan coblos masih berlaku sementara hingga keputusan final KPU dikeluarkan. Just menambah wawasan, negara yang masih mencantumkan agama di KTP didunia ini tinggal dua negara yaitu Indonesia dan Arab.
Sebagaimana kita ketahui fungsi DPR/DPRD adalah fungsi legislasi, pengawasan dan penampung aspirasi masyarakat. Ternyata masih banyak caleg yang belum paham akan tugasnya nantinya. Sehingga ada yang berkampanye jika ia terpilih maka pendidikan dan kesehatan akan gratis. Saya jadi heran, bukankah hal ini menjadi tugas pemkot atau pemda? Spanduk kampanye seperti ini bisa kita temukan di Cihelang dari partai artis nasional. Yang kedua adalah di daerah Cicadas yang membagi - bagikan uang kepada pedagang. Padahal mereka mengkalim bahwa mereka partai dakwah. Kebetulan ada kenalan yang menerima uang cuma - cuma. Nominalnya antara 500 ribu sampai 2 juta. Bawaslu kota Bandung sebaiknya lebih intens menawasi kampanye yang belum pada waktunya ini. Ada juga partai yang selalu menggalang dana untuk membantu negara lain agar tidak bodoh.
Saya sudah penah bilang kalau ada satu partai yang menyuruh kadernya untuk punya anak lebih dari 5 orang agar bisa menang pemilu periode 2019, bahkan jodohnya pun ditentukan oleh pengurus partai. Hal ini telah dimulai sejak 2004 lalu. Beberapa partai ada juga yang menggunakan dana kampanye dari hasil illegal loging.
Dengan banyaknya kecurangan tentu akan menimbulkan keapatisan masyarakat untuk berperan dalam pesta demokrasi nanti. Ini membuat demokrasi yang buruk di negara ini. Belum lagi ada oknum caleg yang seolah - olah membela kepentingan masyarakat. Di Kabupaten Bandung sana ada seorang caleg yang menghalalkan segala cara. Karena di kampung - kampung sana masih marak Minuman Keras alias miras, ia mengatakan kalau nanti dipilih oleh masyarakat khususnya pedagang dan penikmat miras, ia akan "melegalkan" miras. Walah... benar - benar perusak demokrasi.
Namun ada juga kabar gembiranya. Para caleg semakin banyak yang turun ke dapilnya dan melihat langsung kondisi sebenarnya. Tidak seperti biasa yang hanya menugaskan orang dan jika incumbent yang kembali caleg bisanya hanyan turun saat masa reses. Sekarang masyarakat punya kesempatan mengenal calon wakilnya nanti. Jadi disini akan terjalin hubungan emosional dan bisa meminimalisisr keapatisan masyarakat karena ada juga caleg2 yang baik dan benar. Hal ini juga akan mengurangi golput. Karena saat masyarakat golput, maka ruginya akan dua kali lipat. Pertama ia tidak ikut menentukan nasib bangsa ini 5 tahun kedepan melalui partisipasinya di pemilu. Kedua bisa saja suaranya di manipulasi orang kepada calon partai yang lain. Sebab dari pengakuan KPU, maka dengan sistem suara terbanyak maka mengacu kepada ranking suara tertinggi.
Misal di suatu dapil ada 7 kursi tersedia dan satu kursi kira - kira 200 ribu suara. Namun karena suara terbanyak maka walaupun tidak sampai target 2000 ribu suara, maka jika ia menempati 7 ranking teratas maka otomatis dia bisa mendapat satu kursi. Namun karena ada masyarakat yang golput maka pihak2 KPU bisa mempermainkan suara golput. Suara si A tadi bisa turun ke ranking 8 karena ada suara Golput yang ditambahkan kepada caleg tertentu. Kasus semacam inilah yang sedang terjadi di Pilkada Jatim lalu sehingga harus diulang di beberapa kabupaten. Suara kita tidak hilang, namun ada yang mempermainkan suara golput kepada calon lain. Apapun ceritanya politik di Indonesia masih sarat dengan kecurangan. Namun paradigma masyarakat kita yang mungkin karena pendidikan yang masih rendah selalu menganggap bahwa politik adalah sesuatu yang kotor. Marilah kita lihat sistem politik negara Amerika dan Eropa yang menjadikan politik sebagai Garda terdepan untuk memajukan bangsanya.
Terburuk karena sistem pemilu belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Sudah terlalu lama bangsa kita hidup dalam kebodohan. Dan bodohnya lagi, yang kita perangi adalah kemiskinan dan kebodohan negara lain. Akhirnya orang bodoh mengajari bangsa yang sudah bodoh. Hasilnya eksponensial dari bodoh, bukan kuadratik dari bodoh. Maksudnya adalah tentang "kepolosan masyarakat" yang bodohi oleh calon wakil rakyat.
Mungkin dari kita banyak yang belum mengetahui maksud dari KPU yang mensahkan contrengan pada kertas suara nanti. Bukan mencoblos seperti pada pemilu sebelumnya. Mencoblos dianggap masih sangat primitif dan menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan masyarakat yang menggunakan pola mencoblos masih rendah. Dan salah satu negara yang masih menggunakan pola primitif ini adalah bangsa Indonesia. Sehingga sebagian anggota KPU mulai mengarahkan agar menggunakan sistem contreng (V), (-) atau (x) pada caleg yang dipilih. Samapi saat ini tiga tanda contreng dan coblos masih berlaku sementara hingga keputusan final KPU dikeluarkan. Just menambah wawasan, negara yang masih mencantumkan agama di KTP didunia ini tinggal dua negara yaitu Indonesia dan Arab.
Sebagaimana kita ketahui fungsi DPR/DPRD adalah fungsi legislasi, pengawasan dan penampung aspirasi masyarakat. Ternyata masih banyak caleg yang belum paham akan tugasnya nantinya. Sehingga ada yang berkampanye jika ia terpilih maka pendidikan dan kesehatan akan gratis. Saya jadi heran, bukankah hal ini menjadi tugas pemkot atau pemda? Spanduk kampanye seperti ini bisa kita temukan di Cihelang dari partai artis nasional. Yang kedua adalah di daerah Cicadas yang membagi - bagikan uang kepada pedagang. Padahal mereka mengkalim bahwa mereka partai dakwah. Kebetulan ada kenalan yang menerima uang cuma - cuma. Nominalnya antara 500 ribu sampai 2 juta. Bawaslu kota Bandung sebaiknya lebih intens menawasi kampanye yang belum pada waktunya ini. Ada juga partai yang selalu menggalang dana untuk membantu negara lain agar tidak bodoh.
Saya sudah penah bilang kalau ada satu partai yang menyuruh kadernya untuk punya anak lebih dari 5 orang agar bisa menang pemilu periode 2019, bahkan jodohnya pun ditentukan oleh pengurus partai. Hal ini telah dimulai sejak 2004 lalu. Beberapa partai ada juga yang menggunakan dana kampanye dari hasil illegal loging.
Dengan banyaknya kecurangan tentu akan menimbulkan keapatisan masyarakat untuk berperan dalam pesta demokrasi nanti. Ini membuat demokrasi yang buruk di negara ini. Belum lagi ada oknum caleg yang seolah - olah membela kepentingan masyarakat. Di Kabupaten Bandung sana ada seorang caleg yang menghalalkan segala cara. Karena di kampung - kampung sana masih marak Minuman Keras alias miras, ia mengatakan kalau nanti dipilih oleh masyarakat khususnya pedagang dan penikmat miras, ia akan "melegalkan" miras. Walah... benar - benar perusak demokrasi.
Namun ada juga kabar gembiranya. Para caleg semakin banyak yang turun ke dapilnya dan melihat langsung kondisi sebenarnya. Tidak seperti biasa yang hanya menugaskan orang dan jika incumbent yang kembali caleg bisanya hanyan turun saat masa reses. Sekarang masyarakat punya kesempatan mengenal calon wakilnya nanti. Jadi disini akan terjalin hubungan emosional dan bisa meminimalisisr keapatisan masyarakat karena ada juga caleg2 yang baik dan benar. Hal ini juga akan mengurangi golput. Karena saat masyarakat golput, maka ruginya akan dua kali lipat. Pertama ia tidak ikut menentukan nasib bangsa ini 5 tahun kedepan melalui partisipasinya di pemilu. Kedua bisa saja suaranya di manipulasi orang kepada calon partai yang lain. Sebab dari pengakuan KPU, maka dengan sistem suara terbanyak maka mengacu kepada ranking suara tertinggi.
Misal di suatu dapil ada 7 kursi tersedia dan satu kursi kira - kira 200 ribu suara. Namun karena suara terbanyak maka walaupun tidak sampai target 2000 ribu suara, maka jika ia menempati 7 ranking teratas maka otomatis dia bisa mendapat satu kursi. Namun karena ada masyarakat yang golput maka pihak2 KPU bisa mempermainkan suara golput. Suara si A tadi bisa turun ke ranking 8 karena ada suara Golput yang ditambahkan kepada caleg tertentu. Kasus semacam inilah yang sedang terjadi di Pilkada Jatim lalu sehingga harus diulang di beberapa kabupaten. Suara kita tidak hilang, namun ada yang mempermainkan suara golput kepada calon lain. Apapun ceritanya politik di Indonesia masih sarat dengan kecurangan. Namun paradigma masyarakat kita yang mungkin karena pendidikan yang masih rendah selalu menganggap bahwa politik adalah sesuatu yang kotor. Marilah kita lihat sistem politik negara Amerika dan Eropa yang menjadikan politik sebagai Garda terdepan untuk memajukan bangsanya.
0 komentar:
Posting Komentar